PENGAWASAN TERHADAP PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEJABAT ADMINISTRASI PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Posted on 2019-02-01 15:55:29 | by : Raswan | 7001 kali dibaca | Category: Artikel


PENGAWASAN TERHADAP PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PEJABAT ADMINISTRASI PADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Beberapa pertanyaan dan permasalahan yang sering disampaikan dalam penempatan PNS dalam Jabatan Administrator dan Jabatan Pengawas, termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya, sebagai salah satu prioritas pengawasan dalam Kebijakan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah adalah:

  • Penilaian kinerja oleh Tim Penilai Kinerja PNS/Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) kurang objektif dan tidak transparan.
  • Potensi kecurangan pada saat proses penilaian kinerja oleh Tim dan penetapannya oleh Pejabat yang Berwenang (PyB) dan instansi terkait.
  • Pengangkatan dan pelantikan Pejabat tanpa usulan dari instansi atau Tim Penilai Kinerja PNS/Baperjakat.
  • Kurang kompetennya pejabat yang dipromosikan atau adanya persyaratan yang belum terpenuhi, misal: kualifikasi tingkat pendidikan yang diperlukan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis atau kompetensi jabatan yang diperlukan.
  • Pengangkatan Pejabat Administrasi yaitu Pejabat Eselon III dan telah dilantik namun belum mengikuti Diklat Kepemimpinan sama sekali, apakah layak untuk menduduki jabatan eselon III tersebut.
  • Penerbitan SK Pengangkatan dan Pemberhentian bukan oleh Kepala Daerah definitif, Pelaksana Teknis (Plt), Penanggungjawab (Pj).
  • Keterlambatan proses penjatuhan hukuman disiplin oleh Tim Majelis Pertimbangan Pegawai (MPP) terhadap PNS yang melanggar ketentuan.
  • Kepala Daerah sering merombak struktur sejumlah pejabat administrasi di wilayah kerjanya (Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat tidak sesuai prosedur).
  • ewenangan dari pejabat non definitif seperti Pelaksana Harian (Plh.) dan Pelaksana Tugas (Plt.).

Dari seluruh permasalahan yang disampaikan diatas tentu konsekuensinya akan merugikan PNS yang seharusnya dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi dan berdampak pada pelayanan publik oleh OPD.

Sebelum terbitnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN, pengangkatan PNS ke dalam jabatan struktural diatur dengan PP Nomor 100 Tahun 2000 jo PP 13 Tahun 2002 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural. Sehingga beberapa ketentuan telah mengalami perubahan, antara lain:

  1. Dikenal 3 (tiga) istilah jenjang Jabatan Administrasi dari yang paling tinggi ke yang paling rendah terdiri atas:

         a. Jabatan Administrator (JA) untuk Eselon III;

         b. Jabatan Pengawas (JP) untuk Eselon IV; dan

        c. Jabatan Pelaksana untuk Jabatan Fungsional Umum.

    2.  Baperjakat diganti nama menjadi Tim Penilai Kinerja PNS, dengan tugas yang sama antara lain:

menyeleksi pelamar yang masuk sesuai persyaratan, mengerucutkan menjadi 3 (tiga) kandidat sebagai pertimbangan teknis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yaitu Bupati/Walikota untuk Kabupaten/Kota, dan selanjutnya ditetapkan oleh PPK.

   3.  Setiap PNS yang memenuhi persyaratan jabatan punya kesempatan yang sama untuk diangkat dalam Jabatan Administrasi yang lowong.

   4.  Indikator penilaian tidak lagi berdasarkan senioritas yang dahulu dengan istilah Pangkat, Jabatan, Masa Kerja, Pengalaman, Pendidikan dan Usia (PAJAMALAPU), saat ini berdasarkan evaluasi Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial dan Kompetensi Sosial Kultural, yang pengukurannya terdiri dari:

  • Kompetensi Teknis dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis.
  • Kompetensi Manajerial dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan.
  • Kompetensi Sosial Kultural dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan.

      5.  Persyaratan untuk diangkat dalam Jabatan Administrator sesuai Pasal 54 ayat (1) PP Nomor 11 Tahun 2017:

  • berstatus PNS;
  • memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan paling rendah sarjana atau diploma IV untuk JA;
  • memiliki integritas dan moralitas yang baik;
  • memiliki pengalaman pada JP paling singkat 3 (tiga) tahun atau Jabatan Fungsional yang setingkat sesuai dengan bidang tugas Jabatan yang akan diduduk;
  • setiap unsur penilaian prestasi kerja paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
  • memiliki Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural sesuai standar kompetensi yang dibuktikan berdasarkan hasil evaluasi oleh Tim Penilai Kinerja PNS di instansinya; dan
  • Sehat jasmani dan rohani.

Sedangkan persyaratan untuk diangkat dalam Jabatan Pengawas sesuai Pasal 54 ayat (3) berlaku sama, kecuali:

  • kualifikasi dan tingkat pendidikan paling rendah diploma III atau yang setara;
  • pengalaman dalam Jabatan Pelaksana paling singkat 4 (empat) tahun atau JF yang setingkat sesuai dengan bidang tugas Jabatan yang akan diduduki.

Khusus persyaratan kualifikasi dan tingkat pendidikan dikecualikan bagi PNS yang berasal dari daerah tertinggal, perbatasan, dan/atau terpencil, diberi kesempatan untuk memenuhinya paling lama 5 (lima) tahun sejak diangkat dalam Jabatan. Jika tetap tidak bisa memenuhinya maka dapat diberhentikan. Kenyataan yang terjadi di lapangan banyak pejabat administrator yang tetap tidak dapat memenuhinya walaupun telah 5 (lima) tahun dilantik. Padahal sesuai ketentuan sebelumnya yaitu PP 13 Tahun 2002 hanya diberi kesempatan kepada pejabat yang telah menduduki jabatan selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak dilantik.

Lalu bagaimana pula halnya dengan pemberhentian Pejabat dari Jabatan Administrasi?

Pada UU Nomor 5 Tahun 2014 dan PP Nomor 11 Tahun 2017 diatur tentang pembatalan proses mutasi yang tidak dilakukan sesuai prosedur, bahkan hal ini dapat berujung pada kasus pidana. Jika menemukan adanya pemerintah daerah yang tidak bersedia memberikan dokumen pertanggungjawaban pelaksanaan sidang Tim Penilai Kinerja PNS/Baperjakat beserta penilaiannya dan dokumen sidang Tim MPP, dapat dicurigai adanya potensi/indikasi penyelewengan/penyalahgunaan kewenangan.

Dalam Pasal 64 PP Nomor 11 Tahun 2017 disebutkan beberapa kondisi yang memungkinkan PNS diberhentikan dari Jabatan Administrasi, yaitu:

a. pengunduran diri dari Jabatan;

b. diberhentikan sementara sebagai PNS;

c. menjalani cuti di luar tanggungan negara;

d. menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;

e. ditugaskan secara penuh di luar JA; atau

f. tidak memenuhi persyaratan Jabatan.

Khusus bagi PNS yang diberhentikan dari JA selain karena alasan pengunduran diri dari Jabatan dan tidak memenuhi persyaratan Jabatan, dapat diangkat kembali sesuai dengan JA yang terakhir apabila tersedia lowongan Jabatan. Dan untuk Tata Cara Pemberhentian dari Jabatan Administrasi dilaksanakan berdasarkan pengusulan oleh PyB kepada PPK, selanjutnya PPK menetapkan keputusan pemberhentian dalam JA.

Menurut Pasal 238, PNS yang mengajukan permintaan berhenti dapat diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dan permintaan berhenti tersebut dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun jika masih diperlukan untuk kepentingan dinas. Selain itu Permintaan Berhenti ditolak apabila:

  • sedang dalam proses peradilan karena diduga melakukan tindak pidana kejahatan;
  • terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang memeriksa karena diduga melakukan pelanggaran disiplin PNS;
  • sedang mengajukan upaya banding administratif karena dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
  • sedang menjalani hukuman disiplin; dan/ atau
  • alasan lain menurut pertimbangan PPK.

PNS diberhentikan sementara, apabila:

  • diangkat menjadi pejabat negara;
  • diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga non struktural; atau
  • ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

Jika ada pejabat yang terkena kasus kepegawaian dan/atau melakukan Tindak Pidana berdasarkan Keputusan Pengadilan, dijatuhi Hukuman Disiplin sesuai aturan yaitu: pemberhentian tidak dengan Hormat, apabila:

  • Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila & UUD 1945
  • Dipidana dengan pidana penjara/kurungan (tindak pidana ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum)
  • Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik
  • Dipidana dengan pidana penjara/kurungan (hukuman pidana paling singkat 2 tahun dan tindak pidana berencana)

Pada Pasal 281 ayat (3):

“terhadap PNS yang ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana, selama proses pemeriksaan sampai persidangan, misalnya dilakukan penahanan di Lembaga Permasyarakatan diberikan uang pemberhentian sementara sebesar 50% dari penghasilan jabatan terakhir sebagai PNS. Setelah Tim Majelis Pertimbangan Pegawai (MPP) bersidang, dituangkan dalam Berita Acara, baru diputuskan pengenaan Hukuman Disiplin terhadap yang bersangkutan, dan diterbitkan Surat Keputusan Kepala Daerah untuk pemberhentiannya. Jika ternyata yang bersangkutan diputuskan tidak bersalah maka kekurangan pembayaran akan dibayarkan kembali dan dipulihkan nama baiknya. Namun jika putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap menjatuhkan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana maka PNS diberhentikan tidak dengan hormat terhitung mulai akhir bulan sejak putusan pengadilan atas perkaranya.

Hal ini juga diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kepala BKN Nomor 182/6597/SJ; Nomor 15 Tahun 2018 dan Nomor 153/KEP/2018 tentang Penegakan Hukum terhadap Pegawai Negeri Sipil yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana Kejahatan Jabatan atau Tindak Pidana Kejahatan yang ada hubungannya dengan  jabatan, yang pada intinya melalui SKB 3 (tiga) Menteri tersebut memerintahkan Kepala Daerah/Pimpinan instansi untuk segera memecat seluruh PNS yang tersangkut korupsi pada akhir Tahun 2018, serta menjatuhkan sanksi kepada PPK dan PyB yang tidak melaksanakannya. Hal ini juga ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 180/6867/SJ tentang Pemecatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu berdasarkan hasil pengawasan di beberapa daerah juga ditemui jumlah Tim Penilai Kinerja PNS (Baperjakat) tidak gasal karena salah satu anggota berhalangan secara permanen, sehingga persyaratan unsur jumlah keanggotaannya tidak terpenuhi. Hal ini tentu tidak menjamin kualitas, objektifitas dan legalitas hasil sidang yang dilaksanakan. Seharusnya pada kondisi ini dilakukan penggantian anggota Tim. Sesuai ketentuan jumlah Tim penilai kinerja PNS adalah gasal paling sedikit 5 (lima) orang, guna menjamin kualitas, objektifitas dan legalitas hasil sidang yang dilaksanakan, dan seharusnya ditetapkan persyaratan jumlah minimal kehadiran dalam mengambil keputusaan. Biasanya terdiri atas:

  • PyB;
  • pejabat yang menangani bidang kepegawaian;
  • pejabat yang menangani bidang pengawasan internal; dan
  • pejabat pimpinan tinggi terkait.

Mutasi dapat dilakukan termasuk pemberhentian dari jabatan namun sesuai aturan yang berlaku dan dengan alasan yang jelas, misal: karena melakukan pelanggaran, kompetensinya tidak sesuai bidang/teknis, atau karena kinerja menurun. Dan dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dicantumkan bahwa Plh. atau Plt. melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga ada batasan tidak boleh mengangkat dan memberhentikan pejabat. Dan mengenai hal ini diperkuat dengan Surat Kepala BKN No. K.26.30/V.20.3/99 tentang Kewenangan Pelaksana Harian (Plh.) dan Pelaksana Tugas (Plt.) dalam Aspek Kepegawaian, berbunyi: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran”. Tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah, sedangkan perubahan status hukum kepegawaian meliputi: melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai. Wewenang dari Plt. hanyalah menetapkan sasaran kerja pegawai dan penilaian prestasi kerja, menetapkan kenaikan gaji berkala, menetapkan cuti selain cuti di luar tanggungan negara, menetapkan surat penugasan pegawai, menyampaikan usul mutasi kepegawaian kecuali perpindahan antar instansi; dan memberikan izin belajar, izin mengikuti seleksi jabatan pimpinan tinggi atau administrasi, dan izin tidak masuk kerja.

Seyogyanya mutasi pejabat administrasi dilakukan setelah PPK definitif ditetapkan.

-oOo- by Monita